Rangkuman Buku Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi Cetakan I Tahun 2016


Berikut rangkuman beberapa bab dalam buku Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi

 

BAB I

PENGANTAR PENDIDIKAN PANCASILA

A.  Menelusuri Konsep dan Urgensi Pendidikan Pancasila

Nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup telah diwujudkan sejak zaman dahulu dalam berkehidupan bermasyarakat. Namun, nilai-nilai Pancasila mulai tergerus dalam kehidupan bermasyarakat ditandai dengan munculnya berbagai permasalahan. Berikut berbagai permasalahan di Indonesia yang menunjukkan pentingnya mata kuliah pendidikan Pancasila.

1.     Masalah Kesadaran Perpajakan

2.     Masalah Korupsi

3.     Masalah Lingkungan

4.     Masalah Disintegrasi Bangsa

5.     Masalah Dekadensi Moral (materialisme, pragmatisme, dan hedonism)

6.     Masalah Narkoba

7.     Masalah Penegakan Hukum yang Berkeadilan

8.     Masalah Terorisme          

Dengan memperhatikan masalah tersebut, maka urgensi pendidikan Pancasila yaitu dapat memperkokoh jiwa kebangsaan mahasiswa sehingga menjadi dorongan pokok (leitmotive) dan bintang penunjuk jalan (leitstar) bagi calon pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa di berbagai bidang dan tingkatan. Selain itu, agar tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham asing yang dapat mendorong untuk tidak dijalankannya nilai-nilai Pancasila. Pentingnya pendidikan Pancasila di perguruan tinggi adalah untuk menjawab tantangan dunia dengan mempersiapkan warga negara yang mempunyai pengetahuan, pemahaman, penghargaan, penghayatan, komitmen, dan pola pengamalan Pancasila. Dengan demikian, urgensi pendidikan Pancasila di perguruan tinggi dengan meminjam istilah Branson (1998), yaitu sebagai pembentuk civic disposition yang dapat menjadi landasan untuk pengembangan civic knowledge dan civic skills mahasiswa.

Lantas, apakah yang dimaksud dengan pendidikan Pancasila?

Mata kuliah pendidikan Pancasila merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar mahasiswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki pengetahuan, kepribadian, dan keahlian, sesuai dengan program studinya masing-masing. Selain itu, mahasiswa diharapkan mampu memberikan kontribusi yang konstruktif dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan mengacu kepada nilai-nilai Pancasila. Jadi, mata kuliah Pancasila merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan student centered learning, untuk mengembangkan knowledge, attitude, dan skill mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa dalam membangun jiwa profesionalitasnya sesuai dengan program studinya masing-masing dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai kaidah penuntun (guiding principle) sehingga menjadi warga negara yang baik (good citizenship).

Adapun visi dan misi mata kuliah pendidikan Pancasila adalah sebagai berikut:

Visi Pendidikan Pancasila

Terwujudnya kepribadian sivitas akademika yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila.

Misi Pendidikan Pancasila

1.     Mengembangkan potensi akademik peserta didik (misi psikopedagogis).

2.     Menyiapkan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara (misi psikososial).

3.     Membangun budaya ber-Pancasila sebagai salah satu determinan kehidupan (misi sosiokultural).

4.     Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Pancasila sebagai sistem pengetahuan terintegrasi atau disiplin ilmu sintetik (synthetic discipline), sebagai misi akademik (Sumber: Tim Dikti).

Empat pilar pendidikan menurut UNESCO menjadi salah satu rujukan dalam pembelajaran pendidikan Pancasila, yang meliputi learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Berdasarkan ke-empat pilar pendidikan tersebut, pilar ke-empat menjadi rujukan utama, yaitu bahwa pendidikan Pancasila dimaksudkan dalam rangka pembelajaran untuk membangun kehidupan bersama atas dasar kesadaran akan realitas keragaman yang saling membutuhkan.

Apabila pendidikan Pancasila dapat berjalan dengan baik, maka diharapkan permasalahan-permasalahan yang muncul sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya Pancasila secara konsisten, baik oleh warga negara, oknum aparatur maupun pemimpin bangsa, dikemudian hari dapat diminimalkan.

B.  Menanya Alasan Diperlukannya Pendidikan Pancasila

Pendidikan Pancasila sangat diperlukan agar masyarakat tidak tercerabut dari akar budaya yang menjadi identitas suatu bangsa. Hal tersebut dikarenakan terjadinya globalisasi mulai mempengaruhi masyarakat Indonesia dalam berkehidupan berbangsa Selain itu, dekadensi moral yang ditandai dengan mulai mengendurnya ketaatan masyarakat terhadap norma-norma sosial yang hidup di masyarakat, menunjukkan betapa pentingnya Pancasila diselenggarakan di perguruan tinggi untuk menanamkan nilai-nilai moral Pancasila kepada generasi penerus cita-cita bangsa.

Penanaman dan penguatan kesadaran nasional sangat penting karena apabila kesadaran tersebut tidak segera kembali disosialisasikan, diinternalisasikan, dan diperkuat implementasinya, maka akan mengarah kepada musnahnya suatu bangsa. Punahnya suatu negara dapat terjadi karena empat “I”, yaitu industri, investasi, individu, dan informasi (Ohmae, 2002: xv). Kepunahan suatu bangsa tidak hanya ditimbulkan oleh faktor eksternal, tetapi juga ditentukan oleh faktor internal yang ada dalam diri bangsa itu sendiri.

Dengan demikian, tanggung jawab berada di pundak perguruan tinggi untuk mengajarkan nilai-nilai Pancasila sebagai amanat pembukaan UUD 1945 yang menekankan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, mencakup kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang menjadi dasar bagi pengembangan kecerdasan bangsa dalam bentuk kecerdasan ideologis.

Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2012, tentang pendidikan tinggi, termaktub dalam pasal-pasal berikut:

1.     Pasal 2, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

2.     Pasal 35 ayat (3) menegaskan ketentuan bahwa kurikulum pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012, ditegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan Pancasila di perguruan tinggi itu wajib diselenggarakan dan sebaiknya diselenggarakan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri dan harus dimuat dalam kurikulum masing-masing perguruan tinggi. Dengan demikian, keberadaan mata kuliah pendidikan Pancasila merupakan kehendak negara, bukan kehendak perseorangan atau golongan, demi terwujudnya tujuan negara.

C.  Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik Pendidikan Pancasila

Dilihat dari segi objek materil, pengayaan materi atau substansi mata kuliah pendidikan Pancasila dapat dikembangkan melalui beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan historis, sosiologis, dan politik.

1.     Sumber Historis Pendidikan Pancasila

Presiden Soekarno pernah mengatakan, ”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa depan. Implikasinya, pengayaan materi perkuliahan Pancasila melalui pendekatan historis agar dapat mengambil pelajaran atau hikmah dari berbagai peristiwa sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah bangsa-bangsa lain. Sehingga dapat menghindari perilaku yang bersifat mengulangi kesalahan sejarah

2.     Sumber Sosiologis Pendidikan Pancasila

Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam masyarakat. Dari kehidupan sosiologis masyarakat Indonesia sendiri. mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasayarakat, berbangsa dan bernegara kepada nilai-nilai Pancasila yang merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan) bangsa Indonesia

3.     Sumber Yuridis Pendidikan Pancasila

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan salah satu cirinya yaitu pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law). Pancasila sebagai dasar negara merupakan landasan dan sumber dalam membentuk dan menyelenggarakan Negara hukum tersebut. Dengan ini, diharapkan dapat diwujudkan keteraturan sosial (social order) sekaligus peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

4.     Sumber Politik Pendidikan Pancasila

Salah satu sumber pengayaan materi pendidikan Pancasila adalah berasal dari fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia. Tujuannya agar nilai-nilai Pancaasila menjadi acuan tentang upaya atau usaha mewujudkan kehidupan sosial politik yang ideal.

D.  Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pendidikan Pancasila

1.     Dinamika Pendidikan Pancasila

Pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dalam pengimplementasiannya. Apabila ditelusuri secara historis, upaya pembudayaan atau pewarisan nilai-nilai Pancasila tersebut telah secara konsisten dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang. Namun, bentuk dan intensitasnya berbeda dari zaman ke zaman. Pada masa awal kemerdekaan, pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh bangsa dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar. Kemudian, pada 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Pancasila.

Tidak lama sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978, tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetia Pancakarsa, P-4 tersebut kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi Pendidikan Pancasila. Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN yang mencantumkan bahwa “Pendidikan Pancasila” termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Dalam rangka menyempurnakan perkuliahan pendidikan Pancasila yang digolongkan dalam mata kuliah dasar umum di perguruan tinggi, Dirjen Dikti, menerbitkan SK, Nomor 25/DIKTI/KEP/1985, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).

Dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto. Keberadaan mata kuliah Pancasila semakin kokoh dengan berlakunya UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 39 ditentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi harus memuat mata kuliah pendidikan Pancasila. Kemudian, terbit peraturan pelaksanaan dari ketentuan yuridis tersebut, pada pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 1 SK Dirjen Dikti Nomor 467/DIKTI/Kep/1999, yang substansinya menentukan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila adalah mata kuliah yang wajib ditempuh oleh seluruh mahasiswa baik program diploma maupun program sarjana.

Seiring dengan terjadinya peristiwa reformasi pada 1998, lahirlah Ketetapan MPR, Nomor XVIII/ MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), sejak itu Penataran P-4 tidak lagi dilaksanakan. Ditetapkannya UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, kembali mengurangi langkah pembudayaan Pancasila melalui pendidikan.

Dalam rangka mengintensifkan kembali pembudayaan nilai-nilai. Di beberapa kementerian, khususnya di Kementerian Pendidikan Nasional diadakan seminar-seminar dan salah satu output-nya adalah terbitnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Nomor 914/E/T/2011, pada tanggal 30 Juni 2011, perihal penyelenggaraan pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Dalam surat edaran tersebut, Dirjen Dikti merekomendasikan agar pendidikan Pancasila dilaksanakan di perguruan tinggi minimal 2 (dua) SKS secara terpisah, atau dilaksanakan bersama dalam mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dengan bobot minimal 3 (tiga) SKS.

Penguatan keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi ditegaskan dalam Pasal 35. Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi, yang menetapkan ketentuan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila wajib dimuat dalam kurikulum perguruan tinggi, yaitu sebagai berikut:

1.     Pasal 2, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

2.     Pasal 35 Ayat (3) menentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah: agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.

Dengan demikian, pembuat undang-undang menghendaki agar mata kuliah pendidikan Pancasila berdiri sendiri sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi.

2. Tantangan Pendidikan Pancasila

Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah leitmotive dan leitstar, dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan. Tanpa adanya leitmotive dan leitstar Pancasila ini, kekuasaan negara akan menyeleweng. Oleh karena itu, segala bentuk penyelewengan itu harus dicegah dengan cara mendahulukan Pancasila dasar filsafat dan dasar moral (1979:14). Agar Pancasila menjadi dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan bagi generasi penerus pemegang estafet kepemimpinan nasional, maka nilai-nilai Pancasila harus dididikkan kepada para mahasiswa melalui mata kuliah pendidikan Pancasila.

Tantangannya ialah menentukan bentuk dan format agar mata kuliah pendidikan Pancasila dapat diselenggarakan di berbagai program studi dengan menarik dan efektif.

Tantangan ini dapat berasal dari internal perguruan tinggi, misalnya faktor ketersediaan sumber daya, dan spesialisasi program studi yang makin tajam (yang menyebabkan kekurangtertarikan sebagian mahasiswa terhadap pendidikan Pancasila). Adapun tantangan yang bersifat eksternal, antara lain adalah krisis keteladanan dari para elite politik dan maraknya gaya hidup hedonistik di dalam masyarakat.

 

 

 

BAB II

MENELUSURI KONSEP DAN URGENSI PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH BANGSA INDONESIA

1.     Periode Pengusulan Pancasila

Lahirnya rasa nasionalisme menjadi cikal bakal munculnya ideologi bangsa yang menjadi pembuka ke pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Perumusan Pancasila pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI yang difasilitasi Laksamana Maeda, sidang pertama dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60 orang. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Pada 29 Mei 1945, dimulailah sidang yang pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara.

Dalam sidang tersebut, keempat tokoh yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo, menyampaikan usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing-masing.

Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945. menyampaikan lima butir gagasan tentang dasar negara sebagai berikut:

a.     Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia,

b.     Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan,

c.     Mufakat atau Demokrasi,

d.     Kesejahteraan Sosial,

e.     Ketuhanan yang berkebudayaan.

Kelima butir gagasan itu diberi nama Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan angka 3, yaitu Trisila yang terdiri atas (1) Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, dan (3) Ketuhanan Yang Maha Esa. Serta menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong.

Sejarah mencatat bahwa pidato lisan Soekarno inilah yang di kemudian hari diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia dalam bentuk buku yang berjudul Lahirnya Pancasila (1947). Setelah itu, sidang menerima usulan nama Pancasila bagi dasar filsafat negara (Philosofische grondslag) yang diusulkan oleh Soekarno, dan kemudian dibentuk panitia kecil 8 orang (Ki Bagus Hadi Kusumo, K.H. Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Sutarjo, A.A. Maramis, Otto Iskandar Dinata, dan Moh. Hatta) yang bertugas menampung usul-usul seputar calon dasar negara. Kemudian, sidang pertama BPUPKI (29 Mei - 1 Juni 1945) ini berhenti untuk sementara.

2.     Periode Perumusan Pancasila

Hal terpenting yang mengemuka dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 - 16 Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea ke-empat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila sebagai berikut.

1.     Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2.     Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.     Persatuan Indonesia.

4.     Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.     Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta” ini di kemudian hari dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan di sana-sini. 

Ketika para pemimpin Indonesia sedang sibuk mempersiapkan kemerdekaan menurut skenario Jepang, pada 6 Agustus 1945 secara tiba-tiba terjadi perubahan peta politik dunia yaitu takluknya Jepang terhadap Sekutu. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima. Pada 7 Agustus 1945, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang berisi: 

(1)  pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia (PPKI),

(2)  panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang 19 Agustus 1945, dan

(3)  direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan. 

Esok paginya, 8 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang Ho Chi Minh). Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera membentuk suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari Saigon, ketiga tokoh tadi membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan, Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan (Sartono Kartodirdjo, dkk., 1975: 16--17).

Pada 9 Agustus 1945, Amerika dan sekutu kembali menjatuhkan bom lagi di Nagasaki yang meluluhlantakkan kota tersebut sehingga memaksa Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Konsekuensi dari menyerahnya Jepang kepada sekutu, menjadikan daerah bekas pendudukan Jepang beralih kepada wilayah perwalian sekutu, termasuk Indonesia. Sebelum tentara sekutu dapat menjangkau wilayah-wilayah itu, untuk sementara bala tentara Jepang masih ditugasi sebagai sekadar penjaga kekosongan kekuasaan. Kekosongan kekuasaan ini digunakan para pemipin nasional untuk mempercepat rencana kemerdekaan bangsa Indonesia.

3.     Periode Pengesahan Pancasila

Pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon untuk membahas tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan. Namun, pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan secepatnya, sehingga terjadilah penculikan Soekarno dan M. Hatta ke Rengas Dengklok (istilah pemuda “mengamankan”), tindakan pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta (Kartodirdjo, dkk., 1975: 26).

Akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh. Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini hari. Dengan demikian, naskah teks proklamasi digagas dan ditulis oleh dua tokoh proklamator (dinamakan Dwitunggal). Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Sampai detik ini, teks Proklamasi yang dikenal luas adalah sebagai berikut:

Proklamasi

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll. diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 2605

Atas Nama Bangsa Indonesia

 Soekarno-Hatta

Kemudian, 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk menentukan dan menegaskan posisi bangsa Indonesia dari semula bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi (Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Subarjo) dengan maksud agar lebih mewakili seluruh komponen bangsa Indonesia.

Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memerlukan perangkat dan kelengkapan kehidupan bernegara, seperti: Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat pendukung lainnya. Putusan-putusan penting yang dihasilkan mencakup hal-hal berikut:

1.     Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (UUD ‘45) yang terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam Jakarta dengan sejumlah perubahan. Batang Tubuh juga berasal dari rancangan BPUPKI dengan sejumlah perubahan pula.

2.     Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta).

3.     Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI ditambah tokoh-tokoh masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik 29 Agustus 1945 dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo.

Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1.     Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.     Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.     Persatuan Indonesia.

4.     Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

5.     Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah mencatat rumusan Pancasila yang disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata “Ketuhanan”, sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan yang kemudian diikuti dengan pengesahaan Undang-Undang Dasar 1945, Belanda ingin menguasai kembali Indonesia, tindakan itu dilakukan dalam bentuk agresi selama kurang lebih 4 tahun. Setelah pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, maka Indonesia pada 17 Agustus 1950 kembali ke negara kesatuan yang sebelumnya berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Perubahan bentuk negara dari Negara Serikat ke Negara Kesatuan, maka dibuatlah konstitusi baru yang dinamakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).

Berdasarkan Undang-Undang tersebut dilaksanakanlah Pemilu yang pertama pada 1955. Pemilu ini dilaksanakan untuk membentuk dua badan perwakilan, yaitu Badan Konstituante (yang akan mengemban tugas membuat Konstitusi/ Undang-Undang Dasar) dan DPR (yang akan berperan sebagai parlemen). Pada 1956, Badan Konstituante mulai bersidang di Bandung untuk membuat UUD yang definitif sebagai pengganti UUDS 1950. Karena perbedaan pendapat antara menghendaki Islam atau Pancasila sebagai dasar Negara, maka Soekarno sebagai Kepala Negara pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil langkah “darurat” dengan mengeluarkan dekrit. 

Setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, seharusnya pelaksanaan sistem pemerintahan negara didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945. Karena pemberlakuan kembali UUD 1945 menuntut konsekuensi sebagai berikut: Pertama, penulisan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, penyelenggaraan negara seharusnya dilaksanakan sebagaimana amanat Batang Tubuh UUD ‘45. Dan, ketiga, segera dibentuk MPRS dan DPAS. Pada kenyataannya, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terjadi beberapa hal yang berkaitan dengan penulisan sila-sila Pancasila yang tidak seragam.

Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960. Sehingga terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S PKI). Peristiwa G30S PKI menimbulkan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Bulan berikutnya, tepatnya 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No. XVIII/ MPRS/1966 yang isinya mencabut TAP No. III/MPRS/1960 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup. Konsekuensinya, sejak saat itu Soekarno bukan lagi berstatus sebagai presiden seumur hidup.

Setelah menjadi presiden, Soeharto mengeluarkan Inpres No. 12/1968 tentang penulisan dan pembacaan Pancasila sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 (dulu setelah Dekrit 5 Juli 1959 penulisan Pancasila beraneka ragam). Ketika MPR mengadakan Sidang Umum 1978 Presiden Soeharto mengajukan usul kepada MPR tentang Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4). Usul ini diterima dan dijadikan TAP No. II/MPR/1978 tentang P-4 (Ekaprasetia Pancakarsa). Dalam TAP itu diperintahkan supaya Pemerintah dan DPR menyebarluaskan P-4.

Maka dapat disipulkan, pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia menunjukkan hal-hal berikut:

1.     Betapapun lemahnya pemerintahan suatu rezim, tetapi Pancasila tetap bertahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.     Betapapun ada upaya untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa, tetapi terbukti Pancasila merupakan pilihan yang terbaik bagi bangsa Indonesia.

3.     Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia karena bersumber dan digali dari nilai-nilai agama, kebudayaan, dan adat istiadat yang hidup dan berkembang di bumi Indonesia.

 

 

 

BAB III

BAGAIMANA PANCASILA MENJADI DASAR NEGARA INDONESIA?

A.  Menelusuri Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara

Diponolo menyimpulkan 3 (tiga) unsur yang menjadi syarat mutlak bagi adanya negara atau sebagai unsur konstitutif yaitu:

a.     Unsur tempat, atau daerah, wilayah atau territoir.

b.     Unsur manusia, atau umat (baca: masyarakat), rakyat atau bangsa.

c.     Unsur organisasi, atau tata kerjasama, atau tata pemerintahan.

Selain unsur konstitutif, ada unsur deklaratif, dalam hal ini pengakuan dari negara lain. Dasar negara merupakan penentu tentang bentuk negara, sistem pemerintahan, dan tujuan negara yang ingin dicapai, serta cara mewujudkan tujuan negara tersebut. Hal ini akan ditentukan oleh dasar negara yang dianut oleh negara yang bersangkutan.

Secara teoretik, ada beberapa tujuan negara di antaranya:

   Kekuatan, Kekuasaan, dan Kebesaran/ Keagungan

   Kemerdekaan

   Kepastian Hidup, Keamanan dan Ketertiban

   Kesejahteraan dan Kebahagiaan Hidup

   Keadilan

Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap orang mungkin sama, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan. Tetapi cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Jika disederhanakan, jalan yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut dapat digolongkan ke dalam 2 aliran, yaitu: aliran liberal individualis dan aliran kolektivis atau sosialis. Untuk tujuan negara Republik Indonesia sendiri apabila disederhanakan dapat dibagi 2 (dua), yaitu mewujudkan kesejahteraan umum dan menjamin keamanan seluruh bangsa dan seluruh wilayah negara. Oleh karena itu, pendekatan dalam mewujudkan tujuan negara tersebut dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yaitu:

a.     Pendekatan kesejahteraan (prosperity approach)

b.     Pendekatan keamanan (security approach)

Secara etimologis, istilah dasar negara maknanya identik dengan istilah grundnorm (norma dasar), rechtsidee (cita hukum), staatsidee (cita negara), philosophische grondslag (dasar filsafat negara). Banyaknya istilah Dasar Negara dalam kosa kata bahasa asing menunjukkan bahwa dasar negara bersifat universal, dalam arti setiap negara memiliki dasar negara. Dari pidato Mr. Soepomo dalam rapat pleno BPUPKI pada 31 Mei 1945. Kata “cita negara” merupakan terjemahan dari kata “Staatsidee” yaitu “dasar pengertian negara” atau “aliran pikiran negara” yang terdapat dalam kepustakaan Jerman dan Belanda. J. Oppenheim (1849-1924), ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara di Groningen Belanda, dalam pidatonya (1893) mengemukakan bahwa “staatsidee” dapat dilukiskan sebagai “hakikat yang paling dalam dari negara” (de staats diapse wezen), sebagai “kekuatan yang membentuk negara-negara (de staten vermonde kracht) (Attamimi dalam Soeprapto, Bahar dan Arianto, 1995: 121).

Secara terminologis/istilah, dasar negara dapat diartikan sebagai landasan dan sumber dalam membentuk dan menyelenggarakan negara. Atau sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Secara teoretik, istilah dasar negara, menurut Hans Kelsen, disebut a basic norm atau Grundnorm (Kelsen, 1970: 8). merupakan norma tertinggi yang mendasari kesatuan-kesatuan sistem norma dalam masyarakat yang teratur termasuk di dalamnya negara yang sifatnya tidak berubah (Attamimi dalam Oesman dan Alfian, 1993: 74). Dengan demikian, kedudukan dasar negara bersifat permanen yang untuk Indonesia berupa Pancasila berbeda dengan kedudukan peraturan perundang-undangan bersifat fleksibel artinya dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman, karena dasar negara merupakan sumber dari peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, dasar negara merupakan suatu norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee), baik tertulis maupun tidak tertulis dalam suatu negara. Cita hukum ini akan mengarahkan hukum pada cita-cita bersama dari masyarakatnya. Cita-cita ini mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat (Yusuf, 2009).

Prinsip bahwa norma hukum itu bertingkat dan berjenjang, termanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tercermin pada pasal 7 yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:

a.     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.      Peraturan Pemerintah;

e.      Peraturan Presiden;

f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.     Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

 

B.  Menanya Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Dasar Negara

Pancasila merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang nilai-nilainya bersifat nasional yang mendasari kebudayaan bangsa, maka nilai-nilai tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi (cita-cita hidup bangsa) (Muzayin, 1992: 16). Dengan Pancasila, perpecahan bangsa Indonesia akan mudah dihindari karena pandangan Pancasila bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun yang ada dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis, penuh dengan keanekaragaman yang berada dalam satu keseragaman yang kokoh (Muzayin, 1992: 16). Dengan peraturan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, maka hukum harus menciptakan keadaan negara yang lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, yang berlaku untuk semua tanpa ada perlakuan diskriminatif bagi siapapun.

Maka urgensi Pancasila sebagai dasar negara, yaitu: 1) agar para pejabat publik dalam menyelenggarakan negara tidak kehilangan arah untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, dan 2) agar partisipasi aktif seluruh warga negara dalam proses pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, Pancasila hadir dalam setiap hembusan nafas bangsa ini, sehingga pada gilirannya nanti cita-cita dan tujuan negara dapat secara bertahap mewujudkan masyarakat yang makmur dalam keadilan dan masyarakat yang adil dalam kemakmuran.

C.  Menggali Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pancasila Sebagai Dasar Negara

Sumber-sumber keterangan dalam menggali pemahaman Pancasila sebagai dasar negara meliputi sumber historis, sosiologis, dan politis. Berikut merupakan rincian dari sumber-sumber tersebut.

1.     Sumber Yuridis Pancasila sebagai Dasar Negara

Secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang kelahirannya ditempa dalam proses kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam konflik yang tidak produktif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 89).

Selain itu, juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, 2013: 90-91).

2.     Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Negara

Dalam sidang yang diselenggarakan untuk mempersiapkan Indonesia merdeka. Sebelumnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengungkapkan pandangannya mengenai dasar negara. Kemudian dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut dasar negara dengan menggunakan bahasa Belanda, Philosophische grondslag yaitu fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut dasar negara dengan istilah ‘Weltanschauung’ atau pandangan dunia (Bahar, Kusuma, dan Hudawaty, 1995: 63, 69, 81; dan Kusuma, 2004: 117, 121, 128, 129). Selain pengertian yang diungkapkan oleh Soekarno, Mohammad Hatta mengatakan “dasar negara” dapat disebut pula “ideologi negara”. Dapat diumpamakan, Pancasila merupakan dasar atau landasan tempat gedung Republik Indonesia itu didirikan (Soepardo dkk, 1962: 47).

Dengan demikian, jelas kedudukan Pancasila itu sebagai dasar negara, yaitu sewaktu ditetapkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pada 8 Agustus 1945. Pada mulanya, pembukaan direncanakan pada tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal dengan Jakarta-charter (Piagam Jakarta), tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan sebagai dasar filsafat negara Indonesia merdeka yang akan didirikan, yaitu pada 1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Notonagoro, 1994: 24). Terkait dengan hal tersebut, Mahfud MD (2009:14) menyatakan bahwa berdasarkan penjelajahan historis diketahui bahwa Pancasila yang berlaku sekarang merupakan hasil karya bersama dari berbagai aliran politik yang ada di BPUPKI, yang kemudian disempurnakan dan disahkan oleh PPKI pada saat negara didirikan, sehingga tampil dalam bentuk, isi, dan filosofinya yang utuh seperti sekarang.

3.     Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Negara

Secara ringkas, Latif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013) menguraikan pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila sebagai berikut.

Pertama, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertical transcendental) dianggap penting sebagai fundamental etika kehidupan bernegara. Negara dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan dapat menjadi penguatan etika sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, negara Indonesia diharapkan dapat melindungi terhadap semua agama dan keyakinan serta dapat mengembangkan politiknya yang dipandu oleh nilai-nilai agama.

Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial (bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamental etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas mengarah pada persaudaraan dunia yang dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.

Ketiga, nilai-nilai etis kemanusiaan harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, melainkan juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahan masing-masing.

Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha, tetapi dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.

Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh artinya sejauh dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu dan peran manusia sebagai makhluk sosial, juga antara pemenuhan hak sipil, politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Pandangan tersebut berlandaskan pada pemikiran Bierens de Haan (Soeprapto, Bahar dan Arianto, 1995: 124) yang menyatakan bahwa keadilan sosial setidak-tidaknya memberikan pengaruh pada usaha menemukan cita negara bagi bangsa Indonesia yang akan membentuk negara dengan struktur sosial asli Indonesia. Namun, struktur sosial modern mengikuti perkembangan dan tuntunan zaman sehingga dapatlah dimengerti apabila para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 berpendapat bahwa cita negara Indonesia (de Indonesische Staatsidee) haruslah berasal dan diambil dari cita paguyuban masyarakat Indonesia sendiri.

4.     Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Negara

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terkandung makna bahwa Pancasila menjelma menjadi asas dalam sistem demokrasi konstitusional. Konsekuensinya, Pancasila menjadi landasan etik dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Selain itu, bagi warga negara yang berkiprah dalam suprastruktur politik (sektor pemerintah), yaitu lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, Pancasila merupakan norma hukum dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, bagi setiap warga negara yang berkiprah dalam infrastruktur politik (sektor masyarakat), seperti organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan media massa, maka Pancasila menjadi kaidah penuntun dalam setiap aktivitas sosial politiknya. Dengan demikian, sektor masyarakat akan berfungsi memberikan masukan yang baik kepada sektor pemerintah dalam sistem politik. Pada gilirannya, sektor pemerintah akan menghasilkan output politik berupa kebijakan yang memihak kepentingan rakyat dan diimplementasikan secara bertanggung jawab di bawah kontrol infrastruktur politik. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud clean government dan good governance demi terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan masyarakat yang makmur dalam keadilan (meminjam istilah mantan Wapres Umar Wirahadikusumah).

 

 

 

BAB V

MENGAPA PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSAFAT?

A.  Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1.     Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat

a.     Apa yang dimaksudkan dengan sistem filsafat

Beberapa pengertian filsafat berdasarkan watak dan fungsinya sebagaimana yang dikemukakan Titus, Smith & Nolan sebagai berikut:

1)    Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. (arti informal). Yaitu yang paling sering dikatakan masyarakat awam.

2)    Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi. (arti formal). Lebih mengacu pada arti refleksif, yaitu sikap terbuka dan toleran dan mau melihat sesuatu dari segala sudut persoalan tanpa prasangka. Voltaire, salah seorang filsuf Perancis abad kedelapan belas pernah melontarkan adagium yang berbunyi, “Takhayul (mitos) membakar dunia, filsafat memadamkannya” (Magee, 2008: i).

3)    Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. (arti komprehensif). Adapun pernyataan “Pancasila merupakan dasar filsafat negara yang mewarnai seluruh peraturan hukum yang berlaku”, yaitu seluruh peraturan yang berlaku di Indonesia harus mendasarkan diri pada Pancasila. Dengan demikian, Pancasila merupakan suatu sistem mendasar dan fundamental karena mendasari seluruh kebijakan penyelenggaraan negara.

4)    Filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. (arti analisis linguistik). Lebih mengacu pada upaya melakukan klarifikasi, yaitu menjelaskan arti istilah dan pemakaian bahasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, filsafat dapat menjadi sarana berpikir kritis untuk memahami makna suatu ungkapan.

5)    Filsafat adalah sekumpulan problematik yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. (arti aktual-fundamental). Lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang mendalam dari eksistensi manusia.

Ada beberapa alasan mengapa Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat. Pertama; dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno memberi judul pidatonya dengan nama Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka. Noor Bakry menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan hasil perenungan yang mendalam dari para tokoh kenegaraan Indonesia. Hasil perenungan itu dimaksudkan untuk merumuskan dasar negara yang akan merdeka sekaligus merupakan suatu sistem filsafat karena telah memenuhi ciri-ciri berpikir kefilsafatan. Beberapa ciri berpikir kefilsafatan meliputi: (1) bersifat koheren; (2) bersifat menyeluruh; (3) bersifat mendasar; (4) bersifat spekulatif.

Kedua, Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai Pancasila merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian disepakati sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag). Weltanschauung merupakan sebuah pandangan dunia (world-view). Ajaran tentang nilai, makna, dan tujuan hidup manusia yang terpatri dalam Weltanschauung itu menyebar dalam berbagai pemikiran dan kebudayaan Bangsa Indonesia.

b.     Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

            Alasan manusia memerlukan filsafat dikemukakan Titus, Smith and Nolan sebagai berikut. Pertama, agar dapat memperoleh ketenteraman (security) dan kenikmatan (comfort) karena mengetahui dengan pasti makna hidup dan arah yang harus ditempuh dalam kehidupan mereka. Kedua, filsafat melalui kerjasama dengan disiplin ilmu lain memainkan peran yang sangat penting untuk membimbing manusia kepada keinginan-keinginan dan aspirasi mereka.

            Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat (filsafat Pancasila), artinya refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai dasar negara, ditujukan pada beberapa aspek.  Pertama, agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik. Kedua, agar dapat menjadi operasional yang menyangkut hidup bernegara. Ketiga, agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, serta memberikan perspektif pemecahan terhadap permasalahan nasional.

B.  Menanya Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1.     Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus

            Pancasila sebagai genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai objek yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang filsafat yang berkembang di Barat. Pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai Pancasila digunakan untuk mengkritisi berbagai aliran filsafat yang berkembang, baik untuk menemukan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maupun sebaliknya. Selain itu, nilai-nilai Pancasila tidak hanya dipakai dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus mampu menjadi orientasi pelaksanaan sistem politik dan dasar bagi pembangunan nasional. Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus memerlukan landasan pijak filosofis yang kuat yang mencakup tiga dimensi, yaitu landasan; ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

2.     Landasan Ontologis Filsafat Pancasila

            Ontologi membahas tentang hakikat yang paling dalam dari sesuatu yang ada, yaitu unsur yang paling umum dan bersifat abstrak atau menganalisis tentang substansi. Landasan ontologis Pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas hakikat sila-sila Pancasila sebagai dasar filosofis negara Indonesia. Sastrapratedja (2010) menjabarkan prinsip-prinsip dalam Pancasila yaitu: (1) Prinsip sila pertama merupakan pengakuan atas kebebasan beragama, saling menghormati dan bersifat toleran, serta menciptakan kondisi agar hak kebebasan beragama oleh masing-masing pemeluk agama. (2) Prinsip sila kedua mengakui bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan adil sebagai dasar pelaksanaan HAM. (3) Prinsip sela ketiga mengandung konsep nasionalisme politik yang menyatakan bahwa perbedaan tidak menghambat atau mengurangi partsipasi perwujudannya sebagai warga negara kebangsaan. (4) Prinsip sila keempat mengandung makna bahwa sistem demokrasi diusahakan ditempuh melalui proses musyawarah demi tercapainya mufakat untuk menghindari dikotomi mayoritas dan minoritas. (5) Prinsip sila kelima, yaitu didasarkan pada prinsip tidak adanya kemiskinan dalam Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).

3.     Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila

Istilah epistemologi terkait dengan sarana dan sumber pengetahuan (knowledge) yang membahas tentang sifat dasar pengetahuan, kemungkinan, lingkup, dan dasar umum pengetahuan (Bahm, 1995: 5). Landasan epistemologis Pancasila artinya nilai-nilai Pancasila digali dari pengalaman (empiris) bangsa Indonesia, kemudian disintesiskan menjadi sebuah pandangan yang komprehensif tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penjabaran sila-sila Pancasila secara epistemologis dapat diuraikan sebagai berikut.

Sila pertama digali dari pengalaman kehidupan beragama bangsa Indonesia. Sila kedua digali dari pengalaman atas kesadaran masyarakat yang ditindas penjajahan selama berabad-abad. Sila ketiga digali dari pengalaman atas kesadaran yang dilakukan penjajah Belanda melalui politik Devide et Impera menimbulkan konflik antarmasyarakat Indonesia. Sila keempat digali dari budaya bangsa Indonesia yang secara turun temurun pengambilan keputusan berdasarkan semangat musyawarah untuk mufakat. Sila kelima digali dari prinsip-prinsip yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang tercermin dalam sikap gotong royong.

4.     Landasan Aksiologis Pancasila

            Istilah “aksiologis” terkait dengan masalah nilai (value). (Hunnex, 1986: 22). Nilai (value) lebih mengacu pada kualitas yang bersifat abstrak, yang melekat pada suatu objek, sebagai contoh pernyataan “Lukisan Afandi dikatakan bersifat ekspresionis karena di situlah letak nilai keindahannya”.

            Landasan aksiologis Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Sila pertama mengandung kualitas monoteis, spiritual, kekudusan, dan sakral. Sila kemanusiaan mengandung nilai martabat, harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab. Sila persatuan mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Sila keempat mengandung nilai demokrasi, musyawarah, mufakat, dan berjiwa besar. Sila keadilan mengandung nilai kepedulian dan gotong royong.

C.  Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1.     Sumber Histori Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang menyebutkan bahwa nasionalisme adalah nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat manusia hidup dalam roh (Yudi Latif, 2011). Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut.

a.     Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Sejak zaman purbakala, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional, agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial.

b.     Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam menyejarah sebagai bangsa maritim telah. Hasil pengembaraan itu membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia.

c.     Sila Persatuan Indonesia

Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. (Yudi-Latif, 2011:377).

d.     Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

            Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi (Yudi-Latif, 2011: 387--388).

e.     Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Masyarakat adil dan makmur merupakan impian kebahagian masyarakat, dimana para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011: 493--494).

2.     Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama, masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dalam bentuk pandangan hidup atau kearifan lokal, Way of life yang terdapat dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di Indonesia. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis.

3.     Sumber Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 (22 Mei & 26 Juni) dan 1959 (26 Juni), tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis. Kelompok kedua, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni 2011.

Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat berlaku juga atas kesepakatan penggunaan simbol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bendera merah putih (pasal 35 UUD 1945), bahasa Indonesia (pasal 36 UUD 1945), garuda Pancasila (pasal 36A UUD 1945), dan lagu Indonesia Raya (pasal 36B UUD 1945), merupakan simbol dalam kehidupan di Indonesia. Simbol adalah sesuatu yang maknanya diterima sebagai kebenaran melalui konvensi atau aturan. dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang telah disepakati. Demikian pula halnya dengan Burung Garuda, diterima sebagai simbol oleh bangsa Indonesia.

D.  Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1.     Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika sebagai berikut. Pada era pemerintahan Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah “Philosofische Grondslag”. Gagasan tersebut kemudian dikemukakan dalam sidang BPUPKI pertama, pada 1 Juni 1945. Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.

Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat berkembang ke arah yang lebih praktis (istilah yang lebih tepat adalah weltanschauung). Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat Pancasila menjadi penataran P-4. Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang terdengar resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni 2011, mengenai ‘Pancasila yang tertinggal di masa lalu dan tidak lagi relevan dalam dialektika reformasi’.

2.     Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat muncul dalam bentuk-bentuk seperi kapitalisme, meletakkan kebebasan individual secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan lain-lain. Kedua komunisme, berupa tantangan dominasi negara yang berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara.

E.  Mendeskrpsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1.     Esensi (hakikat) Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Hakikat (esensi) Pancasila sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal sebagai berikut: Pertama; hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa kesadaran makhluk mengenai kebebasan selalu dihadapkan pada tanggung jawab, dan tanggung jawab tertinggi adalah kepada Sang Pencipta. Kedua; hakikat sila kemanusiaan adalah manusia monopluralis, yang terdiri atas 3 monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), kedudukan kodrat (makhluk pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan) (Notonagoro). Ketiga, hakikat sila persatuan terkait dengan semangat kebangsaan. Rasa kebangsaan terwujud dalam bentuk cinta tanah air, yang dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu tanah air real (tempat orang yang dialami secara fisik sehari-hari), tanah air formal (negara bangsa yang berundang-undang dasar), dan tanah air mental (imajinasi yang dibentuk dan dibina oleh ideologi atau seperangkat gagasan vital)

Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah. Artinya, keputusan yang diambil lebih didasarkan atas semangat musyawarah untuk mufakat, bukan atas mayoritas dan minoritas. Kelima, hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek, yaitu keadilan; distributive (merata dari negara kepada warga negara), legal (kewajiban warga negara terhadap Negara), dan komutatif (keadilan antar sesama warga negara).

2.     Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Hal-hal yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem filsafat sebagai berikut. Pertama, meletakkan Pancasila sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan merdeka dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara materiil maupun spiritual. Kedua, Pancasila membangun pemikiran yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga mampu menghadapi berbagai ideologi dunia. Ketiga, Pancasila dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi tantangan globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan sendi-sendi perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Keempat, Pancasila dapat menjadi way of life sekaligus way of thinking bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan pemikiran, sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan mental dari suatu bangsa.

 

 

 

BAB VI

BAGAIMANA PANCASILA MENJADI SISTEM ETIKA?

Pancasila sebagai sistem etika merupakan way of life bangsa Indonesia yaitu tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki kemampuan menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

A.  Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

1.     Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika

a.     Pengertian Etika

Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Etika berkaitan dengan adat kebiasaan tata cara hidup yang baik, yang dianut pada diri seseorang maupun masyarakat, dan akan diwariskan ke generasi selanjutnya. Etika pada umumnya sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya disebut moralitas atau etika.

Etika selalu terkait dengan masalah nilai yaitu baik atau buruk. ‘Nilai’ sebagai standar fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter seseorang ketika bertingkah laku, diterapkan seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya dapat dikategorikan etis atau tidak.

b.     Aliran-aliran Etika

Ada beberapa aliran etika, meliputi etika keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori yang mempelajari keutamaan (virtue), artinya mempelajari tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Beberapa watak yang terkandung nilai keutamaan adalah baik hati, ksatriya, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur, terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan toleran (Mudhofir, 2009: 216--219).

Etika teleologis adalah teori yang menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai dari efektivitas tindakan untuk mencapai tujuan, dimana kebenaran dan kesalahan tindakan tersebut berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan. Aliran-aliran etika teleologis, meliputi eudaemonisme, hedonisme, utilitarianisme.

Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau akibat. Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya, kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung kemestian atau keharusan untuk melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban moral lebih diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral.

c.     Etika Pancasila

Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Untuk membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain.

Etika Pancasila lebih dominan pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan, karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya tindakan yang didorong oleh kehendak pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius. Kesederhaaan dan keteguhan artinya membatasi diri agar tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan dan menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya.

2.     Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut. Pertama, banyaknya kasus korupsi sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Keempat, kesenjangan masih terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kelima, ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia. Keenam, banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar, seperti kasus penggelapan pajak. Hal itu memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B.  Menanya Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika

Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi muda. Akibat tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai ditambah globalisasi yang menyebabkan nilai-nilai dari luar berlaku dominan sehingga mereka kehilangan arah. Contoh-contoh dekadensi moral, antara lain: penyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, merosotnya rasa hormat, menipisnya kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.

Kedua, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad).  Karena godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul, mengakibatkan para pejabat akan melakukan tindakan korupsi ketika mempunyai peluang. Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad).

            Ketiga, kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui pembayaran pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih rendah, padahal peranan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam membiayai APBN. Pancasila sebagai sistem etika akan dapat mengarahkan wajib pajak untuk secara sadar memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak yang tinggi maka program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat dijalankan dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan.

Keempat, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara di Indonesia ditandai dengan melemahnya sikap saling menghargai. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan, seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT), penelantaran anak-anak yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain-lain. kasus itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM.

Kelima, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang menindak tegas para pelaku perusak lingkungan, baik pribadi maupun perusahaan yang terlibat. Selain itu, penggiat lingkungan juga perlu mendapat penghargaan. Lingkungan hidup yang nyaman melahirkan generasi muda yang sehat dan bersih sehingga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi lebih bermakna.

C.  Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika

1.     Sumber historis

Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).

Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7.

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.

2.      Sumber Sosiologis

Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam kearifan local kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat”.

3.      Sumber politis

Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu norma yang berbentuk piramida. Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat konkrit.

Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu: tujuan, terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan dan kedamaian masyarakat berdasar pada kebebasan dan keadilan; sarana, untuk pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial; dan aksi politik, berkaitan dengan peranan pelaku dalam menentukan rasionalitas politik.

D.  Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika

1.     Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika

Beberapa argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat partai politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem etika Pancasila, ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilu pada Orde Lama dianggap liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.

Kedua, pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya dalam pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dimana sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang.

Ketiga, sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi. Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan).

2.      Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika

Berikut beberapa bentuk tantangan terhadap sistem etika Pancasila.

Pertama, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa sikap otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.

Kedua, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu.

Ketiga, tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa eforia kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya, munculnya anarkisme yang memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.

E.  Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

A.    Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:

Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.

Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.

Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.

Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat. Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.

Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwujudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata (deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih menonjolkan keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.

B.     Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem etika meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika berarti menempatkan Pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara. Kedua, Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance bagi setiap warga negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Ketiga, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasilais. Keempat, Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran warga negara.

 

 

 

BAB VII

MENGAPA PANCASILA MENJADI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU?

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini mencapai kemajuan pesat sehingga peradaban manusia mengalami perubahan yang signifikan. Pengembangan iptek tidak dapat terlepas dari situasi yang melingkupinya, atau dalam artian suatu ruang budaya. Perkembangan iptek pada gilirannya bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dan agama sehingga tidak merugikan umat manusia, di lain sisi dibutuhkan semangat objektivitas. Jika iptek berkembang tanpa disertai nilai budaya serta agama yang melekat di dalamnya, atau berkembang di ruang hampa nilai, justru akan menjadi bumerang yang membahayakan aspek kemanusiaan.

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan agama dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mengakomodir seluruh aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bangsa Indonesia memiliki akar budaya dan religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat sehingga manakala pengembangan ilmu tidak berakar pada ideologi bangsa, sama halnya dengan membiarkan ilmu berkembang tanpa arah dan orientasi yang jelas. Bertitik tolak dari asumsi di atas, maka ideologi Pancasila berperan sebagai leading principle dalam kehidupan ilmiah bangsa Indonesia.

A.  Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

1.     Konsep Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat mengacu pada beberapa jenis pemahaman. Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang dikembangkan di Indonesia tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang artinya terjadi adaptasi antara keduanya. Kedua, bahwa iptek yang dikembangkan harus menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai faktor internal dimana sudah ada pertimbangan untuk dilibatkan sejak awal. Ketiga, bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan iptek, artinya mampu mengawal dan mengendalikan iptek agar tidak terjadi kesenjangan atau penyimpangan. Keempat, bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah indegenisasi ilmu (mempribumian ilmu), Untuk itu, diperlukan penjabaran yang lebih rinci tentang sejauh mana nilai-nilai Pancasila selalu menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan-keputusan ilmiah yang diambil.

2.     Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pisau bermata dua, iptek dapat memberikan kemudahan tetapi di pihak lain dapat membunuh, bahkan memusnahkan peradaban umat manusia. Pentingnya Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu dapat ditelusuri ke dalam hal-hal sebagai berikut. Pertama, kemajuan iptek menimbulkan perubahan dalam cara pandang manusia tentang kehidupan, hal ini membutuhkan renungan dan refleksi agar bangsa Indonesia tidak terjerumus ke dalam keputusan nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan kemajuan iptek terhadap lingkungan hidup berisiko membahayakan eksistensi hidup manusia di masa yang akan datang. Untuk itu, diperlukan tuntunan moral dalam pengembangan iptek di Indonesia. Ketiga, perkembangan iptek yang didominasi negara-negara Barat dengan politik global ikut mengancam nilai-nilai khas dalam kehidupan bangsa Indonesia, seperti spiritualitas, gotong royong, solidaritas, musyawarah, dan sikap keadilan. Oleh karena itu, diperlukan orientasi yang jelas untuk menyaring dan menangkal pengaruh nilai-nilai global yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.

B.  Menanya Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengembangan iptek menimbulkan terlepasnya nilai-nilai spiritualitas, kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah, dan keadilan merupakan gejala yang merambah ke seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, beberapa alasan Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai pengembangan iptek dalam kehidupan bangsa Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama, kerusakan lingkungan akibat iptek, baik dengan dalih percepatan pembangunan daerah tertinggal maupun upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu mendapat sorotan. Eksploitasi berlebihan menggunakan teknologi canggih mempercepat kerusakan lingkungan, maka generasi selanjutnya menerima risiko dampak dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Kedua, penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dapat menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan iptek yang berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak masyarakat yang cenderung pragmatis. Artinya, kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini mulai terkikis yang sebelumnya memiliki sifat sosial, humanis, dan religius dan digantikan sifat individualistis, dehumanis, pragmatis, bahkan cenderung sekuler.

Ketiga, nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupan mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti: budaya gotong royong digantikan dengan individualis yang tidak patuh membayar pajak dan hanya menjadi free rider di negara ini, sikap bersahaja digantikan dengan gaya hidup bermewah-mewah, konsumerisme; solidaritas sosial digantikan dengan semangat individualistis; musyawarah untuk mufakat digantikan dengan voting, dan seterusnya.

C.  Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia

1.     Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia

Sumber historis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat ditelusuri pada awalnya dalam Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dimana kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” mengacu pada pengembangan IPTEK melalui pendidikan. Dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa haruslah berdasar pada Pancasila, yakni nilai-nilai sipiritualitas, kemanusiaan, solidaritas kebangsaan, musyawarah, dan keadilan.

Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu belum banyak dibicarakan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat para pendiri negara yang juga termasuk cerdik cendekia atau intelektual bangsa Indonesia pada masa itu mencurahkan tenaga dan pemikirannya untuk membangun negara yang baru saja terbebas dari penjajahan. Segelintir rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan di masa penjajahan menjadi pelopor bagi kebangkitan bangsa sehingga ketika negara Indonesia merdeka diproklamirkan, mereka merasa perlu mencantumkan aspek kesejahteraan dan pendidikan ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ”...memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melindungi segenap tanah tumpah darah Indonesia”. Sila-sila Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bagian dari amanat para pendiri negara dalam penguatan perekonomian dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia agar setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Soekarno dalam rangkaian kuliah umum Pancasila Dasar Falsafah Negara, 26 Juni 1958 - 1 Februari 1959 sebagaimana dalam Simposium dan Sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, 14 – 15 Agustus 2006, Sofian Effendi, Rektor UGM selalu menyinggung perlunya setiap sila Pancasila dijadikan blueprint bagi setiap pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia, sila-sila Pancasila sebagai cetak biru untuk dasar nilai pengembangan iptek harus masuk ke dalam seluruh rencana pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia.

Sumber historis lainnya dapat ditelusuri dalam berbagai diskusi dan seminar di kalangan intelektual di Indonesia, salah satunya adalah di perguruan tinggi. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu baru mulai dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak sekitar 1980-an, salah satu perguruan tinggi yang membicarakan hal tersebut adalah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada 15 Oktober 1987, menyelenggarakan seminar dengan tema Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu bekerja sama dengan Harian Kedaulatan Rakyat.

Konsep Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pernah dikemukakan oleh Prof. Notonagoro, anggota senat UGM sebagaimana dikutip oleh Prof. Koesnadi Hardjasoemantri dalam sambutan seminar tersebut, menyatakan bahwa Pancasila merupakan pegangan dan pedoman dalam usaha ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sebagai asas dan pendirian hidup, sebagai suatu pangkal sudut pandangan dari subjek sekaligus objek ilmu pengetahuan atau hal yang diselidiki. Penggunaan istilah “asas dan pendirian hidup” mengacu pada sikap dan pedoman yang menjadi rambu normatif dalam tindakan dan pengambilan keputusan ilmiah.

Daoed Joesoef dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Pancasila, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan menyatakan bahwa Pancasila adalah gagasan vital yang berasal dari kebudayaan Indonesia. Konsep Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu adalah sebagai tuntunan dan pertimbangan nilai dalam pengembangan iptek. Ditegaskan bahwa Pancasila seharusnya dapat membantu dan digunakan sebagai dasar etika iptek di Indonesia. Untuk itu, lima prinsip yang terkandung dalam Pancasila cukup luas dan mendasar untuk mencakup segala persoalan etik dalam iptek, yaitu (1) Monoteisme; (2) Humanisme dan solidaritas karya negara; (3). Nasionalisme dan solidaritas warga negara; (4). Demokrasi dan perwakilan; (5). Keadilan sosial

Koentowijoyo dalam artikelnya, Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Humaniora di Indonesia, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu diletakkan sebagai kekuatan normatif humanisasi yang melawan kekuatan kecenderungan naturalisasi manusia, mekanisasi manusia, dan kesadaran teknik. Simposium dan Sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan KAGAMA, LIPI, dan LEMHANNAS merupakan upaya untuk menempatkan kedudukan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek.

Prof. Dr. Muladi mengaitkan Pancasila dan ilmu pengetahuan dengan meletakkannya pada posisi in between, yaitu antara operational science yang didasarkan pada regularity occurring phenomena dengan non-origin science yang didasarkan atas non-repeatable events yang biasa dikaitkan dengan alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Muladi, 2006: l-liii). Dengan demikian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai common denominator values, yakni nilai-nilai yang disepakati bersama-sama oleh bangsa Indonesia, sekaligus sebagai kerangka acuan bersama.

Prof. Dr. M. Sastrapratedja dalam artikelnya yang berjudul, Pancasila sebagai Orientasi Pembangunan Bangsa dan Pengembangan Etika Ilmu Pengetahuan menegaskan ada dua peran Pancasila dalam pengembangan iptek, yaitu pertama, Pancasila sebagai landasan dari kebijakan pengembangan ilmu pengetahuan, kedua, Pancasila sebagai landasan dari etika iptek.

2.     Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia

Sumber sosiologis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dapat ditemukan pada sikap masyarakat yang memperhatikan iptek sejalan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan sehingga manakala tidak sejalan, biasanya terjadi penolakan. Artinya, pembangunan fasilitas teknologi acapkali tidak melibatkan peran serta masyarakat sekitar, padahal masyarakat yang akan terkena langsung akibatnya. Masyarakat sudah menyadari perannya sebagai makhluk hidup yang dikaruniai akal dan pertimbangan moral sehingga masyarakat lebih peka terhadap isu kemanusiaan di balik dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan dan pengembangan iptek, karena akan mengusik kenyamanan hidup masyarakat.

3.     Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia

Sumber politis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat dirunut dari berbagai kebijakan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Dokumen pada masa Orde Lama yang meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan atau orientasi ilmu, dapat dilihat dari pidato Soekarno saat menerima gelar Doctor Honoris Causa di UGM, 19 September 1951.

Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pada zaman Orde Lama belum secara eksplisit dikemukakan, tetapi oleh Soekarno dikaitkan langsung dengan dimensi kemanusiaan dan hubungan antara ilmu dan amal. Selanjutnya, pidato Soekarno pada Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18 Maret 1962, Soekarno lebih mengaitkan ilmu dengan karakter, yakni kepercayaan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Pada zaman Orde Baru, Soeharto menyinggung masalah Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu ketika memberikan sambutan pada Kongres Pengetahuan Nasional IV, 18 September 1986 di Jakarta. Meskipun Pancasila diterapkan sebagai satu-satunya asas organisasi politik dan kemasyarakatan, tetapi Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia belum diungkapkan secara tegas. Penekanannya hanya pada iptek harus diabdikan kepada peningkatan martabat manusia dan kemanusiaan.

Pada era Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan pada acara silaturrahim dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan masyarakat ilmiah, 20 Januari 2010 di Serpong. SBY menegaskan sistem inovasi nasional dapat berkembang dan berjalan dengan baik untuk Indonesia menjadi knowledge society. Strategi yang ditempuh untuk menjadi negara maju, developed country, adalah dengan memadukan pendekatan sumber daya alam, iptek, dan budaya atau knowledge based, resource based and culture based development.

Habibie dalam pidato 1 Juni 2011 menegaskan bahwa penjabaran Pancasila sebagai dasar nilai dalam berbagai kebijakan penyelenggaraan negara merupakan suatu upaya untuk mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan (Habibie, 2011: 6). Maka dapat disimpulkan bahwa sumber politis dari Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek lebih bersifat apologis karena hanya memberikan dorongan kepada kaum intelektual untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila lebih lanjut.

D.  Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

1.     Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Pancasila sebagai pengembangan ilmu belum dibicarakan secara eksplisit oleh para penyelenggara negara sejak Orde Lama sampai era Reformasi, karena pada umumnya hanya menyinggung masalah pentingnya keterkaitan antara pengembangan ilmu dan dimensi kemanusiaan (humanism). Kajian tentang Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu baru mendapat perhatian yang lebih khusus dan eksplisit oleh kaum intelektual di beberapa perguruan tinggi, khususnya Universitas Gadjah Mada yang menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Pancasila sebagai pengembangan ilmu, 1987 dan Simposium dan Sarasehan Nasional tentang Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional, 2006. Namun pada kurun waktu akhir-akhir ini, belum ada lagi suatu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kaitan dengan pengembangan Iptek di Indonesia.

2.     Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Ada beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai dasar pengembangan iptek di Indonesia:

a.     Kapitalisme yang sebagai akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu menjadi terbatas.

b.              Globalisasi yang melemahkan daya saing bangsa Indonesia sehingga Indonesia lebih condong sebagai konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negara-negara lain.

c.     Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi produk teknologi negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai pengembangan ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat aplikasi kebijakan negara.

d.                       Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu: workability (keberhasilan), satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) mewarnai perilaku kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia.

E.  Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu untuk Masa Depan

1.     Esensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Hakikat Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dikemukakan Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, sebagai berikut:

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian yang akan menentukan kehidupannya yang abadi di akhirat nanti. Salah satu ujiannya adalah manusia diperintahkan melakukan perbuatan untuk kebaikan, bukan untuk membuat kerusakan di bumi. Ilmuwan yang mengamalkan kompetensi teknik yang dimiliki dengan baik sesuai dengan tuntunan sikap tersebut berarti menyukuri anugrah Tuhan

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan arahan agar perlakuan terhadap manusia harus sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Hakikat kodrat manusia yang bersifat mono-pluralis, sebagaimana dikemukakan Notonagoro, yaitu terdiri atas jiwa dan raga (susunan kodrat), makhluk individu dan sosial (sifat kodrat), dan makhluk Tuhan dan otonom (kedudukan kodrat) memerlukan keseimbangan agar dapat menyempurnakan kualitas kemanusiaannya.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia memberikan landasan esensial bagi kelangsungan NKRI. Suatu pekerjaan atau tugas yang dikerjakan bersama dengan menjunjung tinggi asas Persatuan sebagai semangat nasionalisme yang tinggi dapat menghasilkan produktivitas yang lebih optimal.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan memberikan arahan asa kerakyatan, yang mengandung arti bahwa pembentukan negara republik Indonesia ini adalah oleh dan untuk semua rakyat Indonesia. Setiap warga negara, sama halnya dengan ilmuwan dan ahli teknik mempunya hak dan kewajiban memberikan kontribusi sebasar-besarnya sesuai kemampuan untuk kemajuan negara.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia memberikan arahan agar selalu diusahakan tidak terjadinya jurang (gap) kesejahteraan di antara bangsa Indonesia. Pihak yang mengelola industri perlu selalu mengembangkan sistem yang memajukan perusahaan, sekaligus menjamin kesejahteraan karyawan, bukan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan kesejahteraan karyawan dan kelestarian lingkungan.

2.      Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu

Pentingnya Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, meliputi hal-hal sebagai berikut:

a.     Perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia dewasa ini tidak berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia sepenuhnya berorientasi pada Barat (western oriented).

b.     Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia lebih berorientasi pada kebutuhan pasar sehingga prodi-prodi yang “laku keras” di perguruan tinggi Indonesia adalah prodi-prodi yang terserap oleh pasar (dunia industri).

c.     Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia belum melibatkan masyarakat luas sehingga hanya menyejahterakan kelompok elit yang mengembangkan ilmu (scientist oriented).

 

 

 

Comments

Popular Posts